![]() |
sumber: yangketiga.wordpress.com |
Sekedar beropini atas maraknya pemberitaan tentang kecelakaan maut yang terjadi pada 22 Januari lalu, peristiwa mengagetkan yang telah merenggut nyawa banyak pejalan kaki yang tengah melintas di kawasan sekitar halte Tugu Tani, Jakarta Pusat, menjadi peristiwa yang belakangan ini begitu menarik perhatian.
Hampir semua pemberitaan media cetak maupun online menyoroti segala aspek yang berkaitan dengan kejadian ini, mulai dari permasalahan narkoba, kelalaian pengguna kendaraan, sampai dengan dihubung-hubungkannya musibah awal tahun ini dengan kinerja pemerintahan kita saat ini.
Mungkin ini hanya sekedar musibah, namun sesungguhnya setiap kejadian seharusnya mampu diantisipasi, terlebih jika itu dapat mengakibatkan kerugian. Kali ini kita tidak usah jauh-jauh, semua orang mungkin akan menghujat ini-itu jika kita membedah satu per satu musibah ini. Biarlah pihak yang lebih berkompeten yang menanganinya sesuai hati nurani.
Yang coba penulis angkat kali ini adalah masalah keamanan dan kenyamanan pejalan kaki. Apakah masih ada orang yang mau berepot-repot berjalan kaki dibandingkan berkendara di zaman sekarang? Atau masih adakah yang menggunakan trotoar sekedar untuk berjalan kaki dibandingkan berdagang? Inilah kroni yang ada, satu masalah timbul karena adanya masalah lainnya.
![]() |
sumber: rujak.org |
Coba kita telusur dulu sejarahnya, sesungguhnya jalur pedestrian atau jalur pejalan kaki –salah satunya adalah trotoar– itu, sejatinya dibuat untuk kepentingan para pejalan kaki. Hak mereka bagi yang beraktivitas dengan berjalan kaki.
![]() |
sumber: http://putradaerah.wordpress.com |
Tapi siapa sebenarnya yang berhak itu? Apakah hanya pejalan kaki? Jadi apakah pedagang, tukang ojek, tukang becak, penyedia lahan parkir dadakan, warung nasi, tukang tambal ban, dan yang lainnya tidak berhak berdiri diatas trotoar? Kembali lagi ke masalah yang kompleks tadi, karena satu masalah timbul akibat berupa masalah lainnya.
![]() |
sumber: http://phesolo.wordpress.com |
Dikutip dari Wikipedia bahasa Indonesia, sebenarnya sejak masa penjajahan kolonial Belanda sudah dikenal istilah untuk menyebut jalur pedestrian. Istilah ini adalah Kaki Lima. Peraturan pemerintahan waktu itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah lima kaki (satuan Kaki digunakan di kebanyakan negara di Eropa) atau sekitar satu setengah meter. Namun istilah ini kemudian menjadi menyempit seiring banyaknya fungsi yang ditawarkan oleh jalur selebar lima kaki tersebut. Gerobak, lapak, warung dan semua yang berdiri diatas jalur ‘bebas’ tersebut akhirnya sudah tidak sesuai lagi dengan fungsi awalnya.
Alih-alih membudayakan hidup sehat dan mengurangi dampak dari emisi kendaraan, berjalan kaki kemudian malah menjadi aktivitas yang sulit.
Sekarang bukan saatnya lagi merenung, apalagi saling menyalahkan. Hanya ada satu solusi yang saat ini mungkin masih bisa kita lakukan selain belajar dari kesalahan dan musibah. Jika memposisikan diri sebagai pemerintah, maka yang sebaiknya yang dilakukan sudah pasti lebih memperhatikan kepentingan banyak tanpa merugikan kepentingan yang lain, jika sebagai pengguna kendaraan maka hendaknya tidak mengganggu jalur pejalan kaki, sementara pedagang juga jika tidak mau dirugikan hendaknya mencari tempat yang ideal untuk menjajakan dagangannya.
Ini bagian dari tugas kita juga, apapun posisi kita, pemerintah, pengguna kendaraan, pejalan kaki, ataupun pedagang, semoga kesalahan dan musibah kemarin menjadi renungan dan pelajaran untuk bersikap dan berlaku dengan lebih baik terutama di jalan raya. Tentunya ini dilakukan demi keselamatan kita semua.